Bandar Lampung – Sejumlah anggota DPRD Kota Bandar Lampung menekankan pentingnya komunikasi politik yang etis, transparan, dan berpihak pada kelompok rentan, terutama penyandang disabilitas. Hal itu disampaikan dalam kegiatan Lokalatih Strategi Komunikasi Politik bagi Anggota DPRD Kota Bandar Lampung yang digelar oleh Yayasan Satunama Yogyakarta, Jumat (17/10/2025), di Hotel Emersia, Bandar Lampung.
Legislator Soroti Etika Komunikasi dan Peran Media Sosial
Dua anggota DPRD Kota Bandar Lampung, Sulistiani dari Komisi IV dan Yuni Karnelis dari Komisi I, menilai komunikasi publik yang baik menjadi kunci membangun kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat.
“Bagi kami di PKS, memiliki akun media sosial adalah kewajiban moral untuk mengabarkan apa yang sudah kami lakukan,” ujar Sulistiani.
Ia juga menyoroti lemahnya respons pemerintah terhadap masukan DPRD. “Banyak program tetap berjalan meski kami sudah memberi catatan. Padahal DPRD berperan sebagai mitra untuk memastikan program berpihak pada masyarakat,” tambahnya.
Sementara itu, Yuni Karnelis menilai sebagian anggota dewan masih belum memahami pentingnya publikasi kegiatan secara profesional.
“Kami tidak dibekali secara teknis bagaimana mengelola media sosial agar akuntabel dan transparan. Padahal masyarakat menunggu informasi langsung dari kami,” ujarnya.
Yuni juga mengusulkan agar penyandang disabilitas dilibatkan dalam kegiatan DPRD serta mendapat perhatian dalam alokasi anggaran.
“Bantuan yang ada masih bersifat pragmatis, belum sesuai kebutuhan di lapangan. Kami akan dorong pembentukan Kaukus Disabilitas dan pelatihan bersama Yayasan Satunama,” jelasnya.
Widodo: Teori dan Praktik Politik Harus Diuji di Lapangan
Dalam sesi diskusi, Widodo, anggota Komisi II DPRD Kota Bandar Lampung, menyampaikan refleksi tentang perbedaan antara teori dan praktik komunikasi politik di lapangan.
“Teori dengan pelaksanaan di lapangan itu sering kali berbeda jauh. Karena itu, kita perlu menguji teori-teori yang kita yakini agar lebih sesuai dengan realitas,” ujarnya.
Menurutnya, pengalaman praktis di lapangan sering kali justru menunjukkan bahwa teori yang terlihat kuat secara konsep belum tentu mudah diterapkan.
“Kadang orang biasa bisa melakukannya, tapi justru kita yang memahami teori malah kesulitan. Nah, dari situ kita belajar, ternyata teori itu harus terus diuji,” katanya.
Widodo juga menyinggung tantangan komunikasi antara DPRD dan kepala daerah yang dibatasi regulasi.
“Secara politik, posisi DPRD sering kali terbatas. Berdasarkan undang-undang, DPRD hanya bisa memberi kritik atau saran, tapi tidak memiliki kewenangan eksekusi. Kalau kepala daerah tidak merespons, kami tidak bisa berbuat banyak,” jelasnya.
Ia berharap ada model komunikasi politik yang bisa menjembatani hubungan antara DPRD dan kepala daerah.
“Kami butuh pola komunikasi yang efektif supaya pesan DPRD tetap bisa diterima tanpa menimbulkan kesalahpahaman,” pungkasnya.
Akademisi Tekankan Komitmen, Struktur, dan Etika Digital
Menutup kegiatan, dua akademisi nasionall, Prof. Masduki Ali dari Universitas Islam Indonesia dan Dr. Dedy Hermawan dari Universitas Lampung, menegaskan bahwa komunikasi politik yang baik harus berbasis institusi, data, dan empati sosial.
Prof. Masduki menilai krisis komunikasi publik sering terjadi karena pesan politik tidak disampaikan dengan konteks dan etika yang tepat.
“Gunakan media sosial untuk menunjukkan empati dan etika, bukan sekadar pencitraan. Politisi yang baik tidak hanya mengejar popularitas, tapi juga menjaga moralitas,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Dedy Hermawan menegaskan komunikasi publik harus menjadi produk kelembagaan, bukan pribadi.
“Pernyataan politik harus lahir dari mekanisme resmi lembaga agar memiliki legitimasi dan arah yang jelas,” katanya.
Dedy juga menekankan pentingnya kebijakan berbasis data untuk memperkuat perencanaan daerah, khususnya dalam isu disabilitas.
“Bandar Lampung bisa belajar dari kota lain yang berhasil membangun program inklusif karena memiliki data yang kuat,” tutupnya. (ori/bam)