Hanibal Sugara
Laporan Pertama (Selasa, 22/10/2025)
Bandar Lampung — Aroma korupsi kembali tercium dari gedung wakil rakyat. Setelah melakukan penelusuran lapangan dan wawancara dengan beberapa sumber selama2 bulan, akhirnya tim investigasi kami menemukan indikasi kuat adanya penyimpangan penggunaan anggaran di lingkungan Sekretariat DPRD Provinsi Lampung. Dugaan praktik korupsi ini terjadi pada kegiatan belanja makan dan minum tahun anggaran 2025 yang nilainya miliaran rupiah.
Berdasarkan dokumen internal dan pengamatan lapangan, terdapat kejanggalan pada laporan pertanggungjawaban. Beberapa bukti menunjukkan adanya mark up harga konsumsi.
Keterlibatan Sekwan, Kabag dan Anggota
Berdasarkan wawancara dengan seorang sumber internal di DPRD Provinsi Lampung, diketahui bahwa pada 2025 terdapat lebih dari 15 item kegiatan pengadaan makan dan minum dengan nilai yang mencengangkan. Yakni, pengadaan makan dan minum untuk kebutuhan rumah tangga DPRD, reses, rapat koordinasi/penyusunan laporan, untuk makan minum kantor, rapat fraksi, rapat penyusunan program kerja DPRD, rapat pembahasan KUAPPAS dan pengawasan, rapat konsultasi SKPD dan rapat pengawasan anggaran.
“Kegiatan makan minum itu daging, namanya barang habis pakai. Dikelola oleh beberapa bidang, umum, persidangan, humas. Ini maenan Sekwan, Kabag, Pimpinan DPRD, sama beberapa anggota DPRD,” jelas sumber tersebut.
Modus Lama
Berdasarkan temuan lapangan, modus yang dilakukan oleh para pejabat tersebut bukan hal baru. Pola serupa pernah ditemukan pada kasus belanja makan minum yang akhirnya menjadi temuan audit BPK RI.
Misalnya untuk makan minum kegiatan setelah rapat paripurna, pihak sekretariat selalu menyiapkan sajian makanan untuk para anggota DPRD Lampung. Berdasarkan pantauan kami, jumlah makan dan minum yang disajikan tersebut tidak sebanyak nota pesanan. Kemudian harganya pun tidak semahal nota pembayaran yang di SPJ kan. Hasil wawancara kami pada salah satu penyedia makan dan minum, bahkan ada beberapa kepala bagian yang pernah minta nota kosong. Ada juga yang memiliki privilege untuk berhutang.
Minim Pengawasan Internal
Lemahnya sistem pengawasan disebut menjadi pintu masuk terjadinya penyimpangan. Proses audit internal dinilai hanya bersifat administratif, tanpa verifikasi lapangan yang memadai. Padahal, anggaran DPRD Lampung setiap tahun mencapai lebih dari Rp 300 miliar, sebagian besar dialokasikan untuk kegiatan operasional dewan.
“Kalau pengawasan internalnya lemah dan semua laporan diterima begitu saja, korupsi jenis ini akan terus terjadi. Bahkan kami dengar, sudah beberapa kali aparat penegak hukum baik Polda maupun Kejati Lampung memeriksa kegiatan di sekretariat DPRD Lampung. Namun Hasilnya nihil, bukan karena tidak ditemukan dugaan tindak pidana, tapi karena komunikasi kompromistis’’ ujar Ketua Gerakan Lampung Memantau Rian Pubian.